Penyanyi : Movie Review: Surat Dari Praha (2016)
Judul lagu : Movie Review: Surat Dari Praha (2016)
Movie Review: Surat Dari Praha (2016)
Artikel 2016, Artikel Angga Dwimas Sasongko, Artikel Chicco Jerikho, Artikel Glenn Fredly, Artikel H5, Artikel Indonesia, Artikel Jajang C Noer, Artikel Julie Estelle, Artikel M. Irfan Ramli, Artikel Movie Review, Artikel Rio Dewanto, Artikel Surat Dari Praha, Artikel Tio Pakusadewo, Artikel Widyawati,"Lebih baik katakan apa adanya bila memang rindu."
Ini merupakan satu pertanyaan klasik yang pasti akan selalu menimbulkan perasaan bingung serta jawaban yang beragam: apa makna cinta bagi anda? Apakah cinta harus memiliki, menuntut usaha dan totalitas untuk diraih karena waktu takkan mampu berpihak pada perasaan yang meragu dan mencoba menunggu? Atau apakah cinta tidak harus memiliki, sebatas bahagia melihat yang anda cintai bahagia bersama yang lain meskipun kemudian anda harus berteman sepi dan berkawan kelam karena percaya bahwa daun saja tidak sia-sia jatuh ke bumi? Pertanyaan tadi yang “dipermainkan” dengan manis oleh film ini, Surat Dari Praha, an understated love story.
Ketika ibunya, Sulastri (Widyawati), sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit wanita muda bernama Laras (Julie Estelle) justru mengajukan sebuah permintaan: meminta sertifikat kepemilikan rumah untuk membayar pengacara dalam kasus perceraiannya dengan sang suami (Chicco Jerikho).Sayangnya permintaan tersebut menjadi hal terakhir yang diminta oleh Laras kepada ibunya yang kemudian meninggal dunia. Sulastri dan Laras memiliki hubungan ibu dan anak yang kurang begitu harmonis, tidak heran ketika Sulastri hendak memberikan warisan kepada anak tunggalnya itu terdapat sebuah syarat yang harus dilakukan oleh Laras sendiri.
Dalam surat wasiat Sulastri tertulis bahwa Laras dapat memiliki rumah yang ia inginkan tadi ketika telah mengantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat ke sebuah alamat di Praha, Republik Ceko. Keadaan mendesak memaksa Laras untuk memenuhi permintaan dari almarhum ibunya tersebut dan kemudian bertemu dengan pria paruh baya bernama Jaya (Tyo Pakusadewo) di Praha. Tugas Laras ternyata tidak semudah yang ia bayangkan, misi Laras bukan hanya sekedar mengantarkan sebuah kotak dan memperoleh tanda tangan sebagai bukti terima, penyebabnya karena Jaya bukan merupakan sosok biasa dalam kehidupan Sulastri.
Memberikan detail hingga kedalaman pada materi di berbagai titik atau stage dari cerita merupakan cara termudah dalam menciptakan sebuah kisah yang mencoba membuat penonton turut merasakan kompleksitas yang ia miliki. Namun Surat Dari Praha melakukan hal sebaliknya, yang juga menjadi alasan mengapa ia merupakan sebuah kisah cinta yang tidak biasa, sebuah kisah cinta yang “tidak mudah” ketika hadir namun tidak mudah pula untuk dilupakan. Surat Dari Praha pada dasarnya sejak sinopsis hanya mengandalkan satu hal di dalam cerita, yaitu cinta, namun cinta tadi di tangan M. Irfan Ramli dan Angga Dwimas Sasongko dengan lembut dan penuh rasa percaya diri tampil lepas dan terus tumbuh menjadi sebuah kerumitan yang mengasyikkan.
Dasar masalah pada cerita Surat Dari Praha adalah seperti yang disebutkan di awal tadi: makna dari cinta, makna dicinta, dan makna mencinta, namun seperti “tembok” yang dihadapi oleh Laras di Praha cinta tadi berhasil menciptakan situasi “tidak mudah” yang sangat menarik. Di bagian awal semua tampak santai dan mudah, namun Angga Dwimas Sasongko ternyata tidak berniat menjadikan ini mudah meskipun di sisi lain tetap menjaga eksistensi rasa santai bagi penontonnya. Dengan cerdik dan cermat naskah yang manis itu diurai menjadi sebuah pelajaran sederhana tentang cinta, menggunakan tumpuan pada berbagai konflik batin yang tidak hanya terjadi di antara Laras dan Jaya namun ikut pula dirasakan oleh penonton berkat koneksi yang manis antara mereka dengan cerita.
Ya, kekuatan utama Surat Dari Praha adalah bagaimana cerita mampu mengajak penonton untuk tidak hanya hanya sekedar ikut terlibat di dalam petualangan Laras bersama Jaya, namun ikut pula merasakan polemik yang mereka hadapi. Siapa sangka kisah tentang mengantarkan sebuah surat ternyata mengandung suara tentang kebebasan menggunakan unsur politik yang dibentuk dengan manis. Siapa sangka sebuah penolakan sederhana justru membuka jalan bagi dua insan manusia untuk tumbuh lewat usaha berdamai dengan masa lalu masing-masing. Karakter Jaya yang pada awalnya tampak seperti seorang keras kepala yang menjengkelkan bahkan perlahan bergerak ke sisi sebaliknya di mana penonton mulai tertarik pada pendirian teguhnya terhadap janji dan maaf yang menarik bukan hanya sebatas logika, namun juga hati.
Hati pulalah yang menjadi alasan mengapa kisah yang sederhana ini berhasil menjadi sebuah petualangan sederhana tentang cinta dengan output yang tidak sederhana. Setting luar negeri dimanfaatkan dengan baik oleh Angga Dwimas Sasongko namun bersama dengan penggunaan musik yang sangat mumpuni itu mereka seolah di fungsikan untuk menyokong terbentuknya feel dari cerita dan karakter, terutama suasana batin. Jangan heran ketika muncul perasaan sesak saat Laras dan Jaya mulai beradu argument karena rasa kehilangan hingga rasa tidak rela untuk “melepas” cinta dengan cara memaafkan dipresentasikan dengan feel yang kuat, terlebih jika sebuah kalimat sederhana “kadang hidup memang lebih sering berisi apa yang tidak kita inginkan” berhasil menghujam emosi.
Hal menarik dari Surat Dari Praha tidak hanya sebatas pada kualitas cerita dan cara Angga membentuk semuanya, ada visual, musik, dan akting dengan kontribusi yang tidak kalah besar terhadap hasil akhir. Seperti yang disebutkan sebelumnya visual punya tugas untuk menyokong feel, dan itu dibentuk dengan komposisi yang tepat. Musik terasa sedikit lebih menarik, meskipun di lagu pertama terasa kaku namun kehadirannya setelah itu banyak membantu pertumbuhan cerita terutama pada lirik yang berhasil klik dengan konflik yang sedang dihadapi oleh Laras dan Jaya. Lagu yang digunakan sama seperti Surat Dari Praha secara keseluruhan, mereka sederhana namun tidak hanya sebatas membangun romansa lalu pergi berlalu, mereka tinggal di dalam pikiran penontonnya, impact mereka hasilkan begitu membekas.
Bagaimana dengan kinerja akting? Performa akting Julie Estelle dan Tio Pakusadewo terasa manis, karakter terbangun dengan sangat baik, untuk urusan membuat penonton menaruh simpati dan empati mereka tampilkan dengan tepat terutama pada isu kehilangan, maaf, dan cinta, chemistry juga oke. Tio Pakusadewo berhasil memberikan transisi yang menarik pada karakter Jaya terutama terhadap prinsip tentang cinta yang ia pegang teguh. Untuk Julie Estelle ketika ia harus tampil tenang berhasil menjadikan karakter Laras terasa padat, namun ketika harus meledak ia tidak stabil. Yang kurang dari sektor ini adalah di samping kinerja mumpuni tadi mereka juga menghasilkan beberapa momen canggung yang sempat menghalangi usaha elemen lain yang sedang "memasak" cinta di dalam cerita.
Overall, Surat Dari Praha adalah film yang memuaskan. Surat Dari Praha merupakan surat cinta dari Angga dan timnya kepada generasi terkini tentang makna dan kekuatan dari cinta yang tidak sederhana. Tidak lewat kisah jatuh cinta bersama hal-hal manis penuh rayuan maut, tidak dengan kisah segitiga klasik di mana si wanita harus memilih, namun lewat sebuah kisah tentang rasa sakit dari kehilangan di mana kemudian manusia mencoba berdamai dengan masa lalunya makna dari cinta berhasil diangkat dan dipertajam kembali oleh Surat Dari Praha, sebuah surat cinta tentang cinta yang manis.
Demikianlah Artikel Movie Review: Surat Dari Praha (2016)
Sekian Kunci gitar Movie Review: Surat Dari Praha (2016), mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan Chord gitar lagu kali ini.
Anda sedang membaca artikel Movie Review: Surat Dari Praha (2016) dan artikel ini url permalinknya adalah https://inibioskop99.blogspot.com/2016/01/movie-review-surat-dari-praha-2016.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.
Tag : 2016, Angga Dwimas Sasongko, Chicco Jerikho, Glenn Fredly, H5, Indonesia, Jajang C Noer, Julie Estelle, M. Irfan Ramli, Movie Review, Rio Dewanto, Surat Dari Praha, Tio Pakusadewo, Widyawati,